Page 40 - KRIMINALISASI KEBIJAKAN PEJABAT PUBLIK
P. 40
TIDAK UNTUK
DI PERJUAL
BELIKAN
pidana terhadap tindak pidana yang satu lebih tinggi
daripada ancaman terhadap tindak pidana yang lain.
Dalam menentukan perilaku apa yang akan
dikriminalisasi seharusnya diawali dengan pertanyaan:
apakah suatu perilaku selayaknya dapat diserahkan kepada
private ethics ataukah ia telah menjadi bagian dari ranah
(domain) publik? Perilaku-perilaku yang masuk wilayah
29
privat tidak perlu dikriminalisasi jika sangat merugikan
kepentingan masyarakat.
Menurut Bassiouni, keputusan untuk melakukan
kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada
faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan
bermacam-macam faktor termasuk: 30
a. Keseimbangan sarana yang digunakan dalam
hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai
b. Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh
dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari
c. Penilaian atau penafsiran tujuan-tujuan yang dicari itu
dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya
dalam pengalokasikan sumber-sumber tenaga manusia
d. Pengaruh sosial kriminalisasi dan dekriminalisasi
yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-
pengaruhnya yang sekunder
Pandangan lain dikemukakan oleh Soedarto yang
mengungkapkan bahwa dalam menghadapi masalah
31
kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
29 Harkristuti Harkrisnowo mengutip Bentham dalam “Konsep
Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi di Indonesia”,
Pidato Pengukuhan Guru Besar UI. Jakarta. Hal. 20
30 Bassiouni, M. Cherif. “Substantive Criminal Law”. 1978. Hal. 82.
Dikutip dari Arief, Barda Nawawi. “Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana”.Bandung. 1996. Citra Aditya Bhakti
31 Soedarto. “Kapita Selekta Hukum Pidana”.Bandung, Alumni.
1986. Hal 31.
27