Page 127 - ANALISIS DAN INVENTARARISASI PERMASALAHAN TEKNIS HUKUM
P. 127

TIDAK UNTUK
            DIPERJUALBELIKAN

                 sudah dianut konsep citizen charter yang jelas dikenal dalam domain
                 hukum publik, mengapa penggagas UU Ciptaker lebih memilih
                 konsep “layanan bisnis” untuk meneguhkan hubungan pelayanan
                 publik dari pemerintah (administration) kepada warga masyarakat
                 (citizen)? Selain itu diadopsinya konsep  service level agreement
                 yang tidak dikenal dalam ranah hukum administrasi, melainkan
                 dari  prinsip  bisnis  yang  sifatnya  konsensual,  memperlihatkan
                 kelemahan paradigma perubahan fiktif positif dalam UU Ciptaker.
                 Roh dan semangat dari service level agreement jelas berbeda dengan
                 prinsip fiktif positif. Karena itu kedua tidak bisa dicampuradukkan.
                 Sebab, salah satu berasal dari paradigma layanan bisnis, dan yang
                 lain berasal dari paradigma hukum administrasi. Konsep fiktif
                            PUSLITBANG
                 positif berasal dari fiksi hukum administrasi berkaitan dengan
                 sikap  diam  pemerintahan,  atau  sebagaimana  diungkapkan  Vera
                 Parisio: “’Administrative silence’ is a legal fiction of administrative law,
                 a caused legally situation, according to which application filed with
                 public administration bodies, outstanding in a certain period of time,
                 are considered as ‘denied’ or ‘accepted’.” 200

                 2.  Ketidakjelasan Norma Perubahan
                    Menurut Pierluigi Chiassoni kegiatan penafsiran—yang meru­
                 pakan klausul hukum dan keluarannya merupakan norma eksplisit—
                 seperti yang biasa dilakukan oleh hakim, pejabat hukum lainnya,
                 ahli hukum dan pengacara pada umumnya adalah penafsiran yang
                 sesuai dengan tujuan praktis (practical interpretation proper): un tuk
                 menentukan mana arti “benar” (correct) (“patut” [proper], “sahih”
                 [true], “tepat” [right]) dari suatu klausa hukum (legal clause); baik da­
                 lam pan dangan untuk memutuskan suatu sengketa hukum (inter­
                 pretasi yudisial), atau dalam menilai suatu keputusan (interpretasi


                 intended to have legal consequences, since customer and service provider are members of the
                 same organisation. There will also be no monetary compensation, although non-compliance
                 may be penalised indirectly’. Orla O’Donnell, Service Level Agreements, An Foras Riaracháin
                 Institute of Public Local Government Research Series NO 8 October 2014 Administration,
                 hlm. 3.
                  200  Vera Parisio. “The Italian Administrative Procedure Act and Public Authorities’ Silence”,
                 Hamline Law Review: Vol. 36: Iss. 1, Article 2., 2013. hlm. 10.



                 108  •  ANALISIS DAN INVENTARISASI PERMASALAHAN TEKNIS HUKUM ...
   122   123   124   125   126   127   128   129   130   131   132