Page 51 - EFEKTIVITAS PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPBULIK INDONESIA NO 13 TAHUN 2016
P. 51

TIDAK UNTUK
                 EFEKTIVITAS PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016
        DI PERJUAL
                 DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KHUSUS DENGAN PELAKU KORPORASI
         BELIKAN
                    PERMA No. 13 Tahun 2016 sebagai regulasi baru berfungsi
                 mengisi kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran pe-
                 nyelenggaraan peradilan dan menjadi pedoman bagi aparat pene-
                 gak hukum dalam tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
                 di persidangan dalam penanganan perkara pidana oleh korporasi
                 serta pelaksanaan putusan. PERMA No. 13 Tahun 2016 mengatur be-
                 berapa substansi penting mengenai definisi soal korporasi, ruang
                 lingkup pertanggungjawaban korporasi dan pengurus, dan hukum
                 acara saat korporasi menjadi tersangka atau terdakwa, pemeriksaan
                 pengurus, penanganan harta kekayaan korporasi, sanksi pidana bagi
                 korporasi, putusan dan pelaksanaan putusan, serta pelaksanaan pi-
                 dana tambahan atau tata tertib terhadap korporasi yang semuanya
                 sebagai pengaturan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pi-
                 dana dan pertanggungjawabannya..
                    Pada awalnya, pembuat undang-undang berpandangan bahwa
                 hanya manusia (orang perorang/individu) yang dapat menjadi sub-
                 jek tindak pidana. Jadi, korporasi tidak dapat menjadi subjek tindak
                 pidana. KUHP Belanda (1886) menganut asas societas delinquere non
                 potest (badan hukum/perkumpulan tidak dapat melakukan perbuat-
                 an pidana) ataupun universitas delinquere non potest (korporasi tidak
                 dapat dipidana). Dengan demikian, menurut konsep dasar KUHP se-
                 bagai peninggalan kolonial Belandan yang saat ini masih berlaku di
                 Indonesia, Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (KUHP) meng-
                 atur bahwa suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manu-
                 sia alamiah (natuurlijke persoon). Adapun di Belanda sendiri secara
                 tegas menerima korporasi sebagai subjek hukum sejak 1 September
                 1976 yang ditetapkan dalam hukum pidana umum (commune straf­
                 recht) dan juga telah menentukan siapa yang harus bertanggung ja-
                 wab ataupun turut bertanggung jawab atas tindak pidana dilakukan
                 oleh korporasi. Hal ini dapat kita lihat dalam perumusan ketentuan
                           3
                 Pasal 51 Sr  (Wetboek van Strafrech Belanda) menyebutkan, bahwa
                 perbuatan pidana dapat dilakukan oleh perorangan dan oleh badan


                    Pasal 51 KUHP Belanda.
                  3

                 34
   46   47   48   49   50   51   52   53   54   55   56