Page 52 - EFEKTIVITAS PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPBULIK INDONESIA NO 13 TAHUN 2016
P. 52

TIDAK UNTUK
                                                                           BAB 3
        DI PERJUAL               EKSISTENSI PERMA NO. 13 TAHUN 2016 DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI ...
         BELIKAN
                 hukum (korporasi).
                    Berdasarkan Pasal 91 KUHP Belanda, atau Pasal 103 KUHP Indo-
                 nesia, memberi tempat pengaturan tentang ketentuan pidana kor-
                 porasi di luar KUHP dan peluang untuk menyimpang dari Ketentuan
                 Umum Buku I KUHP. Doktrin tentang badan hukum tidak dapat me-
                 lakukan tindak pidana, sudah mengalami perubahan sehubungan
                 dengan diterimanya konsep pelaku fungsional (functioneel dadersc­
                 hap) korporasi dapat dipertanggungjawabkan sebagai pembuat.
                    Menurut Rolling, “pembuat delik memasukkan korporasi ke da-
                 lam functioneel daderschap (pelaku fungsional), oleh kehidupan eko-
                 nomi yang mempunyai banyak fungsi, yaitu karena korporasi dalam
                 dunia modern mempunyai peranan penting dalam kehidupan pem-
                                                                             4
                 beri kerja, produsen, penentu harga, pemakai devisa, dan lain-lain.”
                 Kemudian, muncul pula beberapa teori pertanggungjawaban pidana
                 yang mengesampingkan unsur kesalahan sehingga korporasi diang-
                 gap dapat memiliki kesalahan dan dapat dipertanggungjawabkan.
                 Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” tidak mutlak berlaku dengan
                 mengaitkannya pada pandangan “actus non facit reum nisi mens sit
                 rea.”
                     5
                     Perkembangan selanjutnya terhadap pengaturan ketentuan
                 pidana bagi korporasi yang melakukan perbuatan pidana telah di-
                 atur di berbagai peraturan di luar KUHP. Berbagai undang-undang
                 di Indonesia menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana
                 yang dapat dimintai pertanggungjawaban, namun perkara dengan
                 subjek hukum korporasi yang diajukan proses pidana masih sangat
                 terbatas dan tidak mudah pembuktiannya. Sejak tahun 1951, me-
                 nerima korporasi sebagai subjek hokum pidana dan pertanggung-
                 jawabannya, dan dalam Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955
                 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Eko-
                 nomi telah mengatur pula korporasi sebagai subjek hukum pidana.


                  4  Prof. Dr. Muladi, S.H., dan Prof. Dr. Dwidja Priyatno, S.H., M.H., Pertanggungjawaban Pidana Kor-
                 porasi, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 17.
                    Asas actus non facit reum nisi mens sit rea menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat
                  5
                 menjadikan seseorang bersalah bilamana maksudnya tak bersalah.

                                                                            35
   47   48   49   50   51   52   53   54   55   56   57