Deskripsi
LATAR BELAKANG
Korupsi merupakan suatu fenomena universal, yang melekat dan telah menjadi bagian dari sejarah peradaban umat manusia semenjak berabad-abad yang lampau. Hampir-hampir tidak ada satu Negara pun di dunia ini, baik Negara maju maupun Negara berkembang yang steril dari tindak pidana korupsi. Perbedaan hanya terletak pada tingkat intensitas dan prevalensi korupsi, yang pada umumnya lebih tinggi di Negara-nagara berkembang ketimbang di Negara-nagara maju.
Pada sebagian Negara berkembang, kondisi korupsi yang terjadi kelihatan sangat serius dan merisaukan. Oleh sebab itu, adalah wajar apabila Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menempatkan masalah korupsi dan upaya penanggulagannya sebagai suatu agenda penting dalam berbagai kongres tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” masalah ini bahkan pernah dibawa ke dalam forum Sidang Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1999, yang kemudian melahirkan “United Nations Declaration Against Corruption and Bribery in International Commercial Transaction” Untuk mencapai efektivitas penegakan hukum dalam penanggulangan korupsi, dalam deklarasi ini dianjurkan agar Negara-negara anggota mengadopsi ketentuan hukum yang diperlukan sepanjang hal tersebut belum terdapat di dalam system hukum masing-masing.
Pembaruan hukum pidana tentang korupsi dapat dimasukkan ke dalam upaya penanggulangan seperti dianjurkan deklarasi tersebut diatas. Dlam konteks itu, ketentuan-ketentuan hukum pidana yang tidak lagi kondusif bagi usaha penanggulangan, perlu direformasi dengan tetap memperhatikan asas-asas hukum yang merefleksikan prinsip hukum Negara. Reformasi hukum di Indonesia, untuk penanggulangan masalah korupsi, ditandai antara lain dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971.
Terdapat beberapa kemajuan di dalam Undang-Undang korupsi Tahun 1999, yang jika dilihat dalam perpektif teoretis dapat mengandung berbagai diskusi akademik. Sehubungan dengan tersebut, maka tulisan ini mencoba mengedepankan suatu aspek yang cukup menarik, terutama sekali menyangkut keberanian kebijakan legislative dalam memformulasikan fungsi positif ajaran sifat melawan hukum materiel (materiele wederrechtelijheid), yang sejak semula cenderung dianggap bersinggungan dengan asas legalitas sebagai suatu asas fundamental dan “soko gurunya” hukum pidana.