Deskripsi
Latar Belakang
Setelah lebih dari tiga dasawarsa kemerdekaan Negara Indonesia, terjadi perubahan kebijakan perpajakan yang dikenal dengan “Tax Reform” atau pembaruan perpajakan. Menteri Keuangan pada Sidang DPR tanggal 5 Oktober 1985 menyatakan, tujuan utama dari adanya pembaruan perpajakan ini adalah untuk lebih menegakkan kemandirian kita dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan lebih mengarahkan segenap potensi dan kemampuan dari dalam negeri, khususnya dengan cara meningkatkan penerimaan Negara melalui perpajakan dari sumber-sumber di luar minyak bumi dan gas alam.
Dengan adanya “Tax Reform”, perpajakan Indonesia mengenalkan sistem “Self Assessment”. Sistem ini memberi kepercayaan penuh kepada wajib pajak, dengan asumsi bahwa setiap wajib pajak akan berlaku jujur terhadap Direktorat Jenderal Pajak, dan terus terbuka, tanpa menyembunyikan data-data yang diperlukan oleh pihak administrasi pajak. Menurut sistem ini, wajib pajak diberi kebebasan, dan diberi kewajiban untuk menghitung sendiri dan menentukan sendiri jumlah pajak yang terhutang, tanpa bantuan dari Direktorat Jenderal Pajak. Hanya Pajak Bumi dan Bangunan saja yang tidak terkena sistem ini, karenanya setiap tahun Direktorat Jenderal Pajak c.q. Kantor Inspeksi Pajak harus menetapkan besarnya pajak yang terhutang dengan jalan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak. Jika Surat Ketetapan Pajak ini dibayar pada waktunya oleh wajib pajak maka tidak perlu diadakan tindakan penagihan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Tindakan Penagihan baru dilakukan juka wajib pajak tidak memenuhi kewajiban-kewajiban pembayaran yang ditentukan dalam Undang-Undang. Meskipun sistem “Self Assessment” secara teoritis menguntungkan wajib pajak, namun dalam praktek tetap saja terjadi perselisihan atau sengketa pajak. Hal ini sering terjadi karena adanya penerbitan suatu keputusan pejabat pajak yang berwenang (fiskus), yang hitungannya dalam keputusan tersebut berbeda dengan hitungan wajib pajak. Apabila terjadi sengketa pajak antara wajib pajak dengan pejabat yang berwenang di bidang perpajakan (fiskus), telah disediakan forum penyeleseaian sengketanya. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak) yang dimaksud sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannnya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada pengadilan pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan termasuk gugatan kepada pengadilan pajak berdasarkan undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa. Jadi dapat disimpulkan bahwa sengketa pajak terjadi karena adanya perbedaan pendapat atau persepsi mengenai penetapan pajak terhutang antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan petugas pajak atau fiskus.