Jurnal Tahun 2018
Volume 7, No 3
Abstrak.
Kewenangan Peradilan Agama banyak bersentuhan langsung dengan kepentingan perempuan dan anak, terutama dalam perkara perceraian dan pengasuhan anak. Peradilan Agama berwenang mengadili sengketa di bidang hukum keluarga dan hukum ekonomi Syariah. Perkara-perkara yang termasuk dalam hukum keluarga seperti perceraian, gugatan nafkah, hak asuh anak, nafkah anak, dan perkara-perkara yang merupakan akibat perceraian, banyak bersentuhan dengan hak-hak perempuan dan anak. Dalam penegakan hukum terkait hak-hak perempuan dan anak, Mahkamah Agung telah mengesahkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 yang menekankan lembaga peradilan lebih memerhatikan aspek perlindungan hak-hak perempuan dan anak dalam memutus perkara. Penelitian ini merupakan penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peradilan Agama, dalam hal ini telah mengambil peran dalam melindungi hak perempuan dan anak melalui beberapa regulasi dan putusan perkara. Peradilan Agama berupaya memaksimalkan pelaksanaan putusan dengan mengimplementasikan kaidah-kaidah hukum yang responsif sebagaimana dikehendaki dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 sehingga putusan tersebut dapat dieksekusi dengan baik. Selain itu, perlu adanya sinergitas lintas instansi agar upaya melindungi hak-hak kaum perempuan dan anak dapat terwujud secara lebih signifikan.
Abstrak.
Penyelesaian perkara pada jalur litigasi yang cenderung lambat ditambah dengan penumpukan perkara, didukung dengan banyaknya celah atau kekurangan pada undang-undang partai politik, khususnya terkait penyelesaian perselisihan internal partai. Banyaknya permasalahan tersebut mengharuskan setiap individu yang terlibat untuk mengambil tindakan progresif dengan melampaui peraturan tersebut. Tindakan progresif yang dimaksud salah satunya melalui jalur non-litigasi yakni mediasi. Mediasi dilaksanakan dengan musyawarah mufakat, dengan melibatkan rakyat didalamnya, atau lebih tepatnya tokoh masyarakat yang dirasa netral. Terlepas hal itu merupakan sengketa internal partai, namun rakyatlah yang memiliki andil di dalam setiap roda kehidupan partai politik di dalam sistem demokrasi. Kemudian ada beberapa cara yang bisa ditempuh dalam rangka penyelesaian perselisihan internal partai politik, selain mediasi tadi, ada tiga sistem penunjang untuk mencegah potensi buruk yang ditimbulkan akibat gejolak internal partai. Pertama, melalui mekanisme internal yang menjamin demokratisasi melalui partisipasi anggota partai politik tersebut dalam proses pengambilan keputusan. Kedua, melalui mekanisme transparansi partai melalui rakyat di luar partai yang dapat ikut-serta berpartisipasi dalam penentuan kebijakan yang hendak diperjuangkan melalui dan oleh partai politik. Ketiga, menjamin kebebasan berpikir, berpendapat dan berekspresi, serta kebebasan untuk berkumpul dan berorganisasi secara damai.
Abstract.
Hukum acara formil yang berlaku di Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa waris relatif memakan waktu yang cukup lama. Hal ini mengakibatkan waktu serta biaya yang dikeluarkan menjadi lebih besar. Mekanisme small claim court yang diatur oleh Mahkamah Agung melalui PERMA No. 2 tahun 2015 tentang tata cara penyelesaian sengketa sederhana dalam sistem peradilan umum menjadi titik terang. Konsep small claim court tersebut diharapkan dapat diaplikasikan dalam sistem peradilan agama sehingga mampu memangkas waktu yang lama dalam penyelesaian sengketa waris di Pengadilan Agama. Penelitian ini bertujuan untuk menawarkan terobosan baru dalam sistem peradilan agama di Indonesia khususnya terkait penyelesaian sengketa waris. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual dengan menggunakan studi kepustakaan sebagai alat analisis bahan hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa waris di Pengadilan Agama dengan konsep small claim court dipandang mungkin untuk diimplementasikan sebagai bagian dari pembaharuan hukum acara peradilan agama. Namun demikian, hal itu perlu diiringi dengan pengklasifikasian perkara waris ke dalam perkara besar dan kecil dilihat dari nilai harta warisan yang disengketakan. Oleh karenanya, perluasan pengaturan mekanisme small claim court ke dalam sistem peradilan agama menjadi penting guna memangkas mekanisme penyelesaian perkara yang terlalu lama.
Abstrak.
Ada dua perbedaan prinsip sistem peradilan di berbagai negara hukum, yaitu: pertama: sistem unity of jurisdiction yang dianut oleh negara-negara hukum rule of law yang hanya mengenal satu set pengadilan yaitu pengadilan biasa (pengadilan umum) dan tidak mengenal eksistensi PTUN. Kedua: sistem duality of jurisdiction yang dianut oleh negara-negara hukum rechtsstaat dikenal adanya dua set pengadilan yaitu pengadilan biasa (pengadilan umum) dan PTUN, pengadilan umum berpuncak ke Mahkamah Agung sedangkan PTUN berpuncak ke Dewan Negara (Conseil d’Etat). Kedua sistem ini bukan hanya struktur organisasi pengadilan yang berbeda, tetapi substansi hukum maupun hukum acaranya juga berbeda. Untuk di Indonesia, hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem peradilan di Indonesia sangat unik, jika dilihat dari struktur organisasi peradilan maka lebih dekat pada sistem unity of jurisdiction, sedangkan jika dilihat dari prinsip-prinsip pengadilan atau tata cara penyelesaian sengketa maka lebih dekat pada sistem duality of jurisdicton sehingga penulis menyimpulkan bahwa sistem peradilan Indonesia adalah sistem campuran.
Abstrak.
Hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh melalui putusannya Nomor 07/JN/2016/MS.Aceh membatalkan putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Langsa yang menjatuhkan hukuman cambuk bagi pelaku pelecehan seksual kepada anak. Putusan Mahkamah Syar’iyah berbeda dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut ‘uqubat (hukuman) penjara selama 90 bulan kepada pelaku karena melakukan pelanggaran terhadap Pasal 47 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hakim membatalkan hukuman cambuk bagi pelaku pelecehan seksual kepada anak dan mengkaji putusan Nomor 07/JN/2016/MS.Aceh terkait terpenuhi kepentingan terbaik kepada anak atau tidak. Kajian ini termasuk penelitian yuridis normatif yang mengkaji tentang asas-asas, kaidah-kaidah hukum sesuai teori-teori yang terdapat dalam ilmu hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim membatalkan hukuman cambuk dalam putusan Nomor 07/JN/2016/MS.Aceh dikarenakan putusan MS Langsa belum memberikan efek jera kepada pelaku, supaya anak tidak berjumpa dengan pelaku karenanya hakim tinggi menghukum dengan hukuman penjara, mementingkan kepentingan terbaik bagi anak dan membuatkan pelaku menjadi insaf manakala berada di dalam penjara. Putusan hakim telah memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak, karena membuat pelaku insaf, menjauhkannya dari anak, sesuai dengan konsep mashlahah murshalah dan adanya pengakuan secara aturan hukum berdasarkan Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat dan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Diharapkan kepada hakim yang mengadili kasus pelecehan seksual, dan pemerkosaan pada anak supaya memperberat hukumannya dan mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) dan masa depannya.
Abstrak.
Di Indonesia sesungguhnya banyak kasus yang terjadi berkaitan dengan pelecehan terhadap pengadilan dan aparat penegak hukum. Hal tersebut berpengaruh terhadap integritas dan kewibawaan lembaga peradilan sebagai benteng terakhir untuk mendapatkan keadilan. Namun, sampai saat ini di Indonesia belum ada ketentuan yang secara khusus mengatur tentang pranata Contempt of Court. Artikel ini merupakan bagian dari penelitian yang telah selesai dilakukan dengan metode yuridis normatif yang mengedepankan data sekunder dengan dilengkapi data primer berupa penelitian lapangan yang dilakukan pada beberapa pengadilan negeri yang ada di Indonesia. Pembahasan difokuskan pada permasalahan eksistensi pengaturan dan penegakan hukum Contempt of Court serta menentukan model pengaturannya di Indonesia. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Contempt of Court secara khusus sampai saat ini masih belum ada. Akan tetapi, pengaturannya telah tersebar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Oleh karena itu, dari sekian kasus terkait dengan Contempt of Court baik berupa tindakan maupun perbuatan yang sesungguhnya mengganggu keselamatan, ketenangan psikis maupun fisik, serta apa pun yang pada prinsipnya merupakan bentuk penghinaan terhadap pengadilan belum diberikan sanksi yang tegas tetapi hanya sekedar dikeluarkan dari ruang persidangan. Contempt of Court dapat terjadi baik di dalam ruang persidangan maupun di luar persidangan baik pada perkara pidana, perdata, maupun hubungan industrial. Semakin meluaskan berbagai tindakan yang dapat dikategorikan sebagai contempt of court maka perlu untuk mengatur Contempt of Court dalam bentuk aturan tersendiri.
Abstrak.
Realitas pemberantasan tindak pidana korporasi di Indonesia banyak mengalami kendala, termasuk dalam perkara korupsi. Ketiadaan yurisprudensi yang bisa dijadikan pedoman bagi penegak hukum dan hakim menjadi persoalan yang mendasar dalam mengatasi kegalauan yang selama ini ada.Menarik dipermasalahkan yaitu bagaimanakah urgensi pembangunan yurisprudensi pemidanaan korporasi Pelaku korupsi untuk efektivitas penegakan hukum di Indonesia? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendorong Mahkamah Agung menginisiasi pembentukan yurisprudensi pemidanaan korporasiPelaku korupsi. Jika telah ditetapkan sebagai yurisprudensi dapat berguna sebagai inspirasi dan dipedomani oleh penegak hukum dan hakim. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatankasus. Hasil pembahasan mengemukakan bahwa beberapa putusan pemidanaan terhadap korporasi Pelaku korupsi memiliki kaidah hukum baru yang perlu mendapatkan perhatian penegak hukum dan hakim Pengadilan Tipikor. Kaidah hukum baru tersebut perlu dipertimbangkan untuk dijadikan yurisprudensi sehingga bisa menjadi solusi atas kendala efektivitas pemberantasan korupsi korporasi yang selama ini ada. Mengingat persyaratan yurisprudensi pemidanaan korporasi Pelaku korupsi telah terpenuhi maka sesegera mungkin dapat dimulai proses dan tahapannya oleh Mahkamah Agung.
Abstrtak.
Kebakaran hutan dan lahan khususnya lahan gambut selama ini menjadi perhatian pemerintah secara nasional dan lintas negara. Penegakan hukum tindak pidana lingkungan bagi korporasi yang melakukan pembakaran hutan dan lahan menjadi hal penting karena berdampak pada kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan. Ketentuan mengenai tanggung jawab bagi korporasi dalam tindak pidana lingkungan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan Direktur Perusahaan tidak dapat melepaskan dirinya dari pertanggungjawaban pidana dalam hal perusahaan yang dipimpinnya mencemari dan atau merusak lingkungan. Senada dengan itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mengatur bila pertanggungjawaban dapat dikenakan kepada badan hukum dan para pengurusnya secara bersama-sama, dalam hal kegiatan dan/atau usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. UU PPLH ini kemudian didukung dengan perangkat aturan penanganan perkara di Mahkamah Agung yakni Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.