Jurnal Tahun 2018
Volume 7, No 1
Abstrak.
Lembaga keuangan syariah merupakan komponen utama dalam penyelenggaraan sistem keuangan berbasis syariah. Keberadaannya kini telah diakui dalam kancah perekonomian dunia. Dalam konteks tersebut, lembaga keuangan syariah dihadapkan pada pasar atau perdagangan bebas yang menuntut adanya persaingan secara bebas dan minimnya hambatan tarif dan non tarif. Salah satu kekhasan pasar bebas adalah ekspektasi tinggi terhadap kualitas produk barang dan jasa serta bonafiditas lembaga-lembaga keuangan yang terlibat di dalamnya. Penelitian ini merupakan penelitian normatif-empiris terhadap peluang dan tantangan lembaga keuangan syariah dalam menghadapi pasar bebas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan lembaga keuangan syariah telah diakui secara internasional. Pasar bebas merupakan peluang bagi lembaga keuangan syariah dikarenakan probabilitas bagi meningkatnya pangsa pasar sangat terbuka. Namun demikian, pasar bebas juga menghadirkan tantangan tersendiri karena lembaga keuangan syariah dituntut untuk memiliki sumber daya yang profesional serta kelengkapan sarana dan prasarana pendukung. Untuk hal itu, diperlukan tindakan antisipatif agar lembaga keuangan syariah dapat bertahan di tengah era pasar bebas.
Abstrak.
Penghindaran pajak yang dilakukan dengan skema tertentu oleh wajib pajak badan, dalam hal ini korporasi telah menjadi permasalahan yang sulit diatasi dengan instrumen perundang-undangan yang ada saat ini khususnya melalui ketentuan pidana. Penelitian ini bertujuan menganalisis efektivitas Undang Undang Ketentuan Umum Perpajakan Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah berdasarkan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU KUP), spesifik ketentuan pidananya dalam mengatasi penghindaran pajak oleh wajib pajak badan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan pendekatan kualitatif. Data disajikan secara deskriptif untuk mendapatkan kesimpulan yang terkait setiap pokok penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan masih kurang memadainya perangkat pidana dalam UU KUP, diindikasikan dengan masih tingginya nilai penghindaran pajak oleh wajib pajak badan. Pembinaan wajib pajak sebagai tujuan pidana pajak tidaklah berjalan semestinya, terlihat dari kultur pajak wajib pajak badan yang masih menganggap pajak sebagai beban untuk diefisienkan, mulai dari pelaku usaha, hingga akademisi. Dalam penerapannya, pidana pajakpun diterapkan sesuai unsur subjektif dan objektif ketentuan pidana Pasal 38-39 UU KUP. Namun UU KUP ternyata masih menganut pemidanaan terhadap orang pribadi sebagaimana dianut KUHP/KUHAP tanpa ada penjelasan lebih lanjut, sehingga menjadi masalah dalam penerapannya terhadap korporasi. Namun dengan adanya Perma Nomor 13 Tahun 2016 maka hal itu dapat dilakukan, meskipun bersifat formil. Disisi lain, pidana UU perpajakan meskipun dikatakan menganut asas ultimum remedium namun kenyataannya, ketentuan pidananya masih banyak yang menganut pidana sebagai premium remedium.
Abstrak.
Penyimpangan dalam proses peradilan pidana sebenarnya bukan hanya dapat terjadi pada tahap penyelidikan, penyidikan (pra-adjudikasi), penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan (adjudikasi), tetapi juga dapat terjadi pada tahap pelaksanaan putusan pengadilan (pasca adjudikasi). Penelitian ini membahas masalah peranan Hakim Pengawas dan Pengamat dalam mencegah terjadinya penyimpangan pada tahap pelaksanaan putusan pengadilan, kendala apa saja yang dihadapi, dan bagaimana upaya mengatasinya. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang sebagian besar datanya diperoleh dari studi kepustakaan didukung oleh penelitian observatoris selama peneliti melaksanakan tugas sebagai jaksa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama ini peranan Hakim Pengamat dan Pengawas belum dijalankan secara maksimal sehingga belum cukup efektif dalam mencegah terjadinya penyimpangan pada tahap pelaksanaan putusan pengadilan. Adapun kendala penyebab Hakim Pengamat dan Pengawas kurang berperan secara efektif, pada umumnya terkait dengan kesibukan Hakim Pengawas dan Pengamat itu sendiri, karena selain dibebani tugas sebagai pengamat dan pengawas yang bersangkutan juga masih dibebani tugas-tugas penanganan perkara. Bahkan tugas sebagai Hakim Pengawas dan Pengamat jutsru dianggap sebagai tugas sampingan. Kendala lain yang dihadapi ialah belum tersedianya sarana dan prasarana, serta tidak adanya biaya operasional. Oleh karena itu ke depan perlu ada reformulasi terhadap keberadaan lembaga Hakim Pengawas dan Pengamat agar dapat berfungsi secara efektif.
Abstrak.
Pemerintah berupaya gencar memberantas penyalahgunaan dan peredaran narkotika di Indonesia yang kerap terjadi dan telah menerobos berbagai lapisan masyarakat. Di institusi TNI, tidak jarang ditemui oknum prajurit TNI terlibat dalam penyalahgunaan narkotika, terlihat dari banyaknya perkara pidana narkotika yang disidangkan di pengadilan militer di beberapa wilayah Indonesia. Sampai saat ini belum ada regulasi khusus dari internal TNI yang mengatur Oditur Militer dalam mengeksekusi terdakwa sesuai perintah putusan untuk melaksanakan rehabilitasi medis dan sosial di rumah sakit yang ditunjuk. Lebih lanjut, belum ditemukan peraturan yang menunjuk rumah sakit milik pemerintah ataupun rumah sakit milik kedinasan di institusi TNI sebagai tempat rehabilitasi medis dan sosial yang dikhususkan bagi Prajurit TNI aktif. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi upaya yang bisa dilakukan agar perintah putusan pengadilan untuk melakukan rehabilitasi medis dan sosial dapat terlaksana di lingkungan institusi TNI dan sesuai dengan amanat undang-undang. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan didasarkan pada pengkajian hukum positif. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer berupa undang-undang dan putusan pengadilan, bahan hukum sekunder berupa buku-buku, jurnal, tesis dan lain sebagainya. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach) digunakan dalam penelitian ini. Beberapa putusan tingkat kasasi dalam amar putusannya memerintahkan terdakwa (prajurit TNI yang didakwa) untuk melaksanakan rehabilitasi medis dan sosial, hal ini merupakan langkah progresif atau terobosan baru di ranah peradilan militer. Namun demikian, ditemui kendala dalam pelaksanaan eksekusinya. Oleh sebab itu, perlu dibuat regulasi khusus di internal institusi TNI untuk menetapkan rehabilitasi medis dan sosial terhadap prajurit yang terlibat penyalahgunaan/pecandu narkotika. Inisiasi kerja sama institusi TNI dengan beberapa rumah sakit pemerintah dan/atau seluruh rumah sakit milik TNI yang dilengkapi dengan unit rehabilitasi medis dan sosial juga perlu dilakukan.
Abstrak.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia belum cukup jelas mengatur perihal keadaan memberatkan dan meringankan yang dapat dipertimbangkan dalam penjatuhan pidana. Literatur mengenai hal tersebut juga masih minim, padahal permasalahan tersebut sangat penting karena merupakan hal yang wajib dipertimbangkan dalam setiap putusan yang menjatuhkan pidana. Setelah pertimbangan pembuktian kesalahan terdakwa, pertimbangan untuk penjatuhan pidana merupakan hal terpenting lainnya dalam putusan. Penjatuhan pidana inilah yang disebut sebagai proses yang melibatkan pergulatan batin hakim yang memutus perkara. Pertimbangan keadaan memberatkan dan meringankan memiliki pengaruh terhadap: proporsionalitas penjatuhan pidana, penentuan penjatuhan pidana maksimum dan pidana minimum, dan juga sebagai dasar penjatuhan pidana di bawah batas minimum khusus yang telah ditentukan pembuat undang-undang. Penelitian ini juga merumuskan beberapa karakteristik dan batasan pertimbangan keadaan memberatkan dan meringankan yang harus dipenuhi dalam penjatuhan pidana.
Abstrak.
Penelitian tentang pembentukan Qanun Aceh ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis proses evaluasi Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh telah mendapat pengesahan oleh Gubernur dan DPRA. Hasil evaluasi Pemeritah Pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia menolak pemberlakukan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Pengumpulan data menggunakan metode penelitian kepustakaan (literature research) yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder di bidang hukum. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau memberikan gambaran secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu daerah tertentu, mengenai sifat-sifat atau faktor-faktor tertentu. Hasil penelitian ini adalah, (1) Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh merupakan simbol masyarakat Aceh sendiri. Hal ini dikarenakan ada sejarah yang kuat terhadap bendera dan lambang Aceh, (2) peraturan perundang-undangan memberikan legitimasi terhadap qanun bendera dan lambang Aceh, (3) peneliti juga menemukan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang menjelaskan dasar terbentuknya qanun tersebut. Dalam hal proses evaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri terkait qanun tersebut, masih belum ada titik temu antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Hal ini dikarenakan qanun bendera dan lambang Aceh tidak bisa dibatalkan oleh Pemerintah Pusat karena terhalang oleh pengaturan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Abstrak.
Masalah arbitrase merupakan salah satu isu hukum yang cukup aktual dan menarik untuk dibicarakan, karena memiliki peran penting dalam kaitannya dengan dunia bisnis yang semakin berkembang pesat akhir-akhir ini. Dalam dunia usaha dan lalu lintas di bidang perdagangan, baik di tingkat nasional maupun internasional, para pelaku usaha dalam kontrak bisnis mereka umumnya lebih menyukai lembaga arbitrase dari pada lembaga peradilan dalam menyelesaikan sengketa bisnis yang terjadi di antara mereka, sehingga penggunaan lembaga arbitrasepun semakin populer dan meningkat jumlahnya. Suatu sengketa bisnis yang diajukan oleh para pihak melalui lembaga arbitrase seperti halnya pengadilan selalu diakhiri dengan putusan, dan putusan tersebut harus pula dapat dilaksanakan atau dieksekusi. Suatu putusan, tidak ada artinya jika tidak dapat dilaksanakan. Akan tetapi kerapkali terjadi, meskipun putusan sudah ada, pihak yang kalah atau termohon eksekusi tidak mau melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela atau dengan iktikad baik (in good faith). Dalam hal yang demikian, maka atas permohonan pihak yang menang atau pemohon eksekusi, Ketua Pengadilan Negeri dapat melaksanakan putusan arbitrase tersebut secara paksa (execution forcee).
Abstrak.
Selain masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, kebijakan kriminalisasi yang ada saat ini masih belum mampu menjawab permasalahan pokok, yakni dampak negatif dari pengonsumsian minuman beralkohol. Dalam hal ini, tujuan pembangunan nasional berdasarkan Pancasila belum terwujud dengan baik. Studi konseptual ini fokus terhadap 2 (dua) permasalahan pokok. Pertama, kebijakan kriminalisasi konsumsi minuman beralkohol di Indonesia. Di tingkat undang-undang, yakni KUHP, kebijakan kriminalisasi terhadap subjek hukum yang mengonsumsi minuman beralkohol diharuskan merugikan kepentingan hukum orang lain atau umum, yakni sebagaimana ditentukan dalam Pasal 300, Pasal 492 ayat (1), dan Pasal 536 KUHP. Di tingkat yang lain, yakni peraturan daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, beberapa telah secara tegas memuat kebijakan kriminalisasi konsumsi minuman beralkohol tanpa mempertimbangkan apakah perbuatan tersebut merugikan orang lain atau tidak. Kedua, kebijakan kriminalisasi konsumsi minuman beralkohol di Indonesia pada masa yang akan datang. Berdasar pada pertimbangan filosofis, yuridis, dan sosiologis, perlu diadakan pembaruan hukum terkait kebijakan kriminalisasi konsumsi minuman beralkohol di Indonesia. Adanya pembaruan kebijakan kriminalisasi mengonsumsi minuman beralkohol di Indonesia menunjukkan bahwa negara telah menjamin hidup sejahtera lahir batin, tempat tinggal, serta lingkungan hidup yang baik dan sehat. Semua itu merupakan kebutuhan manusia yang menjadi hak asasi yang harus dihormati dan dipenuhi oleh negara atau pemerintah dalam konteks melindungi kehidupan segenap bangsa Indonesia.