Deskripsi
Latar Belakang
Dikaji dari perspektif hukum positif (ius constitutum/ius operatum) masyarakat Indonesia mengenal tiga sistem hukum waris, yaitu sistem hukum adat waris, sistem hukum waris Islam dan sistem hukum waris menurut KUH Perdata. B. Ter Haar Bzn menyebutkan bahwa hukum waris adat meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses penerusan dan peralihan kekayaan materiil dan immateriil dari turunan ke turunan. R. Soepomo menentukan hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengalihkan barang-barang harta benda dan barang- barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu generasi manusia (generatie) kepada turunannya. Soerojo Wignjodipuro menyebutkan hukum adat waris sebagai norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil dan immateriil yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya. Khusus mengenai hukum adat waris Bali, Ayu Putu Nantri menyebutkan sebagai suatu proses penerusan dari pewaris kepada ahli waris tentang barang-barang materiil maupun barang-barang immateriil yang mana hal ini berarti bahwa penerusan ini menyangkut penerusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban.
Konklusi global konteks di atas, dapat dikatakan bahwa dalam hukum adat waris terdapat adanya pewaris, ahli waris dan harta warisan. Pewaris adalah orang yang meninggal dunia, kemudian meninggalkan harta warisan kepada orang lain (pewaris). Tegasnya, pewaris adalah pemilik harta peninggalan, atau empunya harta warisan. Dalam aspek hukum adat waris Bali dan juga menurut Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 4766/K/Pdt/1998 tanggal 16 November 1999 proses penerusan dilakukan oleh pewaris kepada ahli warisnya, dimana penerusan atau pengalihan dilakukan terhadap harta yang berwujud benda maupun tidak berwujud benda. Kemudian, pewarisan tidak hanya sekedar membagi harta warisan, tetapi juga melanjutkan tanggung jawab dari pewaris berupa parahyangan, pawongan dan pelemahan sebagai konsepsi Tri Hita Karana. Dimensi ini semuanya sesuai dengan kekerabatan masyarakat Adat Bali yang mengikuti garis purusa (patrilineal) dibebankan kepada anak laki-laki. Ahli waris adalah Anak atau keturunan yang menerima harta warisan. Dalam konteks hukum adat waris Bali maka sebagai ahli waris adalah garis patrilineal (kapurusa/purusa) yaitu anak yang berstatus laki-laki. Kemudian harta warisan adalah harta (boedel) dari kekayaan pewaris yang akan diwariskan kepada ahli waris.